Melihat kembali era grafika tahun 50 an

Ditulis ulang oleh: Suheri
 
Orang teramat mafhum mendengar keluh kesah para pembisnis grafika pers daerah di kota-kota kecil dalam mempertahankan & mengembangkan usahanya. Sedangkan pembisnis di kota besar seperti Ujung Pandang saja tetap mengeluhkan ketersediaan bahan baku yg selayaknya telah tak lagi jadi soal. "Kami tetap memakai letter press. Baru dua bln lagi ada offset", kata LE Manuhua dari Percetakan & Penerbitan Sulawesi Ujung Pandang. "Kami senantiasa mengalami kesusahan dalam tinta cetak rotasi. Terkecuali itu pun timah & leter Judul. Dahulu harga tinta Rupiah 325, kini telah lebih puluhan ribu per kg,” imbuhnya.
Memakai Imajinasi
HG Rorimpandey tidak sedikit bercerita berkenaan "sejarah kesulitan" beberapa orang grafika. "Di tahun-tahun 50-an kondisi percetakan tetap lumayan memuaskan. Barangkali sebab tidak sedikit pembangunan percetakan-percetakan baru lebih kurang awal th 50-an", tuturnya. Disaat itu para penerbit tak susah mencari percetakan dgn sarana teknis yg baik, sekalipun jenisnya bukan offset atau percetakan yg husus menempa koran seperti yg ada kini.

Sebelum pertengahan th 60-an, dunia penerbitan pers Indonesia telah mengalami kesusahan di sektor percetakan akibat merosotnya kualitas cetak. Yg paling menyedihkan yaitu seputar thn 1967 & 1968. Mesin-mesin kepada biasanya telah lanjut usia, tidak terpelihara & tidak sedikit yg tak bekerja lantaran rusak atau tak mempunyai peralatan pengganti (suku cadang). Ditambah huruf-huruf tak kumplit & media produsen klise juga telah memburuk, maka amat mengganggu dalam proses tata letak & tata rupa. "Kadang waktu tak terbaca, malah tidak jarang pembaca mesti memanfaatkan imajinasinya utk dapat mengikuti mengisi suratkabar,” tutur Rorimpandey.

Nota Terhadap Petinggi Presiden

Kemunduran itulah yg mengakibatkan kondisi pers ketika itu mencapai titik yg teramat rendah. Koran-koran telah tidak sanggup lagi bersi teguh. "Pers yg justeru dalam orde baru adalah salah satu media pembangunan, tidak bisa memenuhi keperluan cetaknya lantaran kondisi percetakan-percetakan amat menyedihkan," sambungnya. Beberapa Orang pers serta prihatin. Bln Januari 1968, SPS & PWI mengatakan nota biar Petinggi (terhadap kala itu) Presiden Soeharto turun tangan meringankan kondisi. "Sesudah 1968 kondisi mulai sejak beralih & menunjukkan gejala-gejala perbaikan," kata Rorimpandey.

Awal 1969 surat-surat berita bersama delapan halaman mulai sejak terbit tiap hri. Bahkan ada yg terbit bersama 12 halaman. "Sekarang, koran harian dgn 8 halaman telah bukan satu factor yg luar biasa lagi, baik di ibukota ataupun di daerah. Bertambahnya halaman nyata-nyatanya bersamaan juga bersama perbaikan perwajahan surat berita. Terhadap biasanya tipografi mulai sejak membaik. Tidak bakal disangkal, perkembangan pers seputar th 1969 ini disebabkan meningkatnya media grafika, yg di raih bersama perbaikan & rehabilitasi sementara percetakan.

Perkembangan itu mendorong kesadaran para penerbit utk mengupayakan mempunyai percetakan sendiri atau setidaknya menguasai fasilitas-fasilitas tertentu. disamping percetakan yg telah lama ada & yg terhadap rata-rata mengalami rehabilitasi, hadirnya percetakan-percetakan baru itu bagi Rorimpandey berarti kita telah memasuki step yg baru.